Pohon Tidak Sekedar Melestarikan Lingkungan

Penulis : Ir. Fadmin Prihatin Malau
Banyak yang tidak mengetahui Hari Pohon se-Dunia, 21 November. Gaungnya tidak begitu besar sehingga banyak masyarakat yang tidak peduli dengan Hari Pohon se-Dunia. Bila bicara pohon selalu identik dengan melestarikan lingkungan, dikaitkan dengan bumi yang semakin panas, pemanasan global dan lainnya.
Memang tujuan dari memperingati Hari Pohon se-Dunia adalah mengajak umat manusia untuk melestarikan lingkungan. Sebab dunia kini semakin renta, rapuh dan bakal hancur akibat semakin banyaknya polusi dari kendaraan bermotor, hutan ditebangi, lapisan ozon menipis karena efek rumah kaca. Semua itu membahayakan kehidupan manusia di dunia ini.
Memperingati Hari Pohon se-Dunia mengajak untuk berbuat satu langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh semua orang yakni menanam pohon. Ada permintaan bila tidak bisa (mau) menanam pohon, ya merawat pohon yang ada. Bila tidak bisa (mau) merawat pohon yang ada. Jangan merusak pohon yang ada.
Begitulah makna Hari Pohon se-Dunia yang diperingati umat manusia. Tujuannya bumi ini tetap lestari. Manusia takut bila bumi ini hancur, kemana lagi mau pergi. Kini muncul rumor yang mengatakan dunia akan kiamat 2012 dengan alasan berbagai bencana alam terus terjadi di muka bumi ini.
Bermakna Universal
Pohon memiliki makna universal dan pada setiap suku bangsa memiliki arti tersendiri meskipun secara universal kehadiran pohon sebagai pelestari lingkungan. Indonesia berada di daerah tropis maka berbagai jenis pohon-pohonan tumbuh subur, berbagai macam tumbuh-tumbuhan, berbagai jenis binatang-binatang. Flora dan fauna Indonesia sangat kaya dan sumber daya alam berlimpah-limpah. Nyamannya hidup di khatulistiwa.
Kehadiran pohon bagi bangsa Indonesia memiliki arti penting, bukan sekedar untuk melestarikan lingkungan. Hampir di semua daerah di Indonesia, kehadiran pohon memiliki arti tersendiri. Pohon masih dianggap sesuatu yang sakral bahkan banyak masyarakat yang mengkeramatkannya. Artinya pohon keramat yang tidak bisa diganggu begitu saja.
Kepercayaan kepada kekuatan yang dimiliki pohon masih melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berbeda-beda pada setiap suku bangsa. Suku Baduy misalnya pohon sesuatu yang memiliki kekuatan gaib maka tidak boleh menebang pohon. Suku Dayak di Kepulauan Riau pohon adalah bagian dari alam yang menyatu sehingga tidak boleh ditebang sembarangan.
Selesaikan Perkara
Pohon memang memiliki arti bagi setiap suku bangsa di Indonesia, tidak terkecuali bagi suku bangsa Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba kehadiran pohon bukan sekedar melestarikan lingkungan, memiliki kekuatan mistik tetapi pohon adalah tempat menyelesaikan perkara.
Jenis pohon itu adalah Hariara yang banyak tumbuh di desa-desa Tapanuli. Pohonnya sangat rimbun maka aneka burung-burung hinggap di pohon itu. Pohon Hariara menghasilkan buah yang manis dan menjadi bahan makanan bagi burung-burung yang hinggap di dahan-dahan dan ranting-ranting pohon itu. Bukan saja burung yang memakan buahnya tetapi hewan-hewan yang berada di bawahnya juga memakan buah yang jatuh dari pohon itu.
Boleh jadi karena pohon Hariara rimbun selalu dianggap ada yang menunggunya. Begitu rimbunnya maka di bawahnya banyak orang dapat berlindung, berteduh, termasuk berbagai jenis hewan peliharaan masyarakat.
Biasanya pohon Hariara memiliki multi fungsi, mulai dari melestarikan lingkungan juga digunakan sebagai tempat berkumpul bagi masyarakat desa. Masyarakat desa berkumpul di bawah pohon Hariara itu untuk membahas setiap permasalahan yang muncul di masyarakat.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba setiap permasalahan yang timbul di masyarakat bila dibahas di bawah pohon Hariara maka permasalahan itu segera tuntas.
Beranjak dari kepercayaan itu maka semua pengetua adat, tokoh masyarakat, maupun orang-orang yang dituakan di kampung itu akan berkumpul di bawah pohon Hariara. Biasanya orang-orang desa yang berkumpul di bawah pohon Hariara itu akan menghormati setiap keputusan yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Pengambilan keputusan di bawah pohon Hariara ini berlangsung sejak nenek-moyang suku bangsa Batak Toba dan waktu itu dinamakan di bawah pohon Hariara itu sebagai daerah partungkoan. Dahulunya merupakan tempat raja-raja bius, tokoh adat, tokoh masyarakat dan orang yang dituakan di kampung itu untuk berkumpul membahas maupun menyelesaikan perkara yang timbul di masyarakat.
Hebatnya lagi, setiap orang yang melintas di seputaran pohon Hariara itu selalu berlaku sopan, tidak berani bicara kasar, kotor, memaki karena takut akan mendapat bala. Pohon Hariara dikeramatkan sehingga sesuatu keputusan yang diputuskan dibawah pohon Hariara sesuatu yang keramat, sakral maka keputusan itu harus dilaksanakan.
Sampai kini masih banyak masyarakat Batak Toba yang menilai pohon Hariara memiliki makna sakral, dikeramatkan dan tidak heran gedung-gedung pertemuan pada masyarakat masyarakat Batak Toba sekarang ini disebut dengan partungkoan.
Pohon Hariara di Tapanuli dan banyak pohon-pohon lain di daerah lain di Indonesia ini memiliki cerita sendiri dan bukan sekadar untuk melestarikan lingkungan. Memiliki multifungsi dala kehidupan masyarakatnya.
Wajar jika Hari Pohon se-Dunia masyarakat dunia memperingatinya dengan berbagai macam cara, sesuai dengan cara pandang memaknai kehadiran sebuah pohon, berjuta pohon dalam hidup kehidupan mereka meskipun secara universal diakui pohon adalah wahana untuk melestarikan lingkungan.
Sumber : Analisa Daily

Danau cantik dari Bencana

Tak lengkap rasanya jika Anda berkunjung ke Sumatera Utara tidak mampir sejenak ke Danau Toba, danau vulkanik yang merupakan danau terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Pesona eksotisnya berupa hamparan danau luas laksana lautan dengan pepohonan rindang dan perbukitan yang menawan. Danau ini berukuran 1700 meter persegi dengan kedalaman kurang lebih 450 meter dan terletak 906 meter di atas permukaan laut, di tengah danau terdapat Pulau Samosir yang tak kalah menariknya menjadi objek kunjungan wisata.
Dalam kunjungannya pada 1996, Pangeran Bernard dari Belanda bahkan menyatakan kekagumannya pada panorama indah danau ini. “Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau Toba,” katanya antusias.
Ada tujuh kabupaten di sekeliling danau, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir yang memiliki panorama alam indah dan menjadi lokasi tujuan wisata. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk Siadong di Pulau Samosir.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73 ribu-75 ribu tahun lalu dan merupakan letusan super volcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama dua minggu.
Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama satu minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan, pada beberapa spesies, juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Ketika menikmati keindahan danau ini, Anda mungkin tak membayangkan bahwa pesona yang terjadi berasal dari bencana dahsyat letusan gunung berapi yang mendatangkan ketakutan dan kengerian ketika itu.
Perjalanan darat ke Danau Toba, tepatnya ke Parapat, memakan waktu empat sampai lima jam dari Medan. Tersedia bus atau travel yang langsung menuju Parapat. Rutenya melewati Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan belok ke arah Pematang Siantar. Sepanjang perjalanan, kita disuguhi panorama perkebunan kelapa sawit dan karet.
Apabila menggunakan kereta api, dari Medan pilih rute menuju Pematang Siantar. Dari sini perjalanan dilanjutkan menggunakan bus ke Parapat. Waktu tempuhnya satu jam.
Untuk tempat menginap dan tinggal lebih lama menikmati keindahan Danau Toba, tersedia banyak hotel dan penginapan. Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 500 ribu per malam tergantung tipe hotel.
Sebuah perusahaan travel bahkan menawarkan menikmati keindahan Danau Toba dari udara, yakni menggunakan paralayang. Setiap wisatawan diberi kesempatan terbang menggunakan paralayang dari kawasan pegunungan Tongging, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi para wisatawan yang ingin mencoba paralayang akan ditemani seorang instruktur berpengalaman, namun tentunya penentuan bisa terbang atau tidak tergantung pada kondisi cuaca dan angin.
Tidak hanya itu, menikmati keindahan matahari terbit dan terbenam bisa Anda nikmati dari pesisir danau. Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut untuk menikmati senja di Danau Toba.
Copyright © Sang Alam