Kebenaran yang Disangkali

Tak ada berita besar atas kepulangan Suhanah tanggal 17 April tahun lalu. Namun, peristiwa itu sebenarnya memberi tanda amat jelas bahwa bisa jadi keadilan yang diperjuangkan tidak terpegang sampai akhir hayat.

Suhanah adalah satu dari tiga penyintas (survivor) asal Indonesia yang hadir dalam Pengadilan Internasional Kejahatan dalam Perang terhadap Perempuan untuk kasus Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang Selama Perang Dunia II atau "The Tokyo Tribunal", tanggal 8-12 Desember 2000 di Tokyo, Jepang.

Suhana juga hadir saat dibacakan keputusan final di Den Haag, Belanda, tanggal 3-4 Desember 2001, di mana majelis hakim menyatakan bersalah kepada Kaisar Hirohito, Kaisar Showa yang tahun 1937-1945 adalah Kepala Negara Jepang dan Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata Kerajaan Jepang. Sejumlah perwira tinggi Jepang yang memimpin ekspedisi perang ke berbagai wilayah Asia juga dinyatakan bersalah.

Keputusan itu diambil setelah majelis hakim mendengarkan kesaksian 35 dari 75 penyintas selama proses pengadilan di Tokyo.

Pengadilan yang melibatkan semua hakim dan penuntut dalam Pengadilan Internasional Perang untuk Rwanda dan bekas negara Yugoslavia serta saksi ahli dan penasihat hukum terkemuka dunia itu merupakan jawaban atas kegagalan negara memenuhi tanggung jawab menegakkan keadilan bagi sekitar 200.000 perempuan Asia yang dipaksa menjadi jugun ianfu
atau comfort women di comfort stations untuk serdadu Jepang selama Perang Dunia II.

Pemerintah Jepang selama 50 tahun menolak tanggung jawab hukum karena berpendapat sistem comfort women bukan perbudakan. Pemerintah Jepang juga menyatakan soal comfort women telah diselesaikan melalui perjanjian-perjanjian perdamaian dan reparasi pasca-perang.

Pernyataan itu dijawab tim Indonesia yang dipimpin Nursyahbani Katjasungkana yang memberi informasi baru dengan bukti Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang tahun 1958. Perjanjian itu menyinggung reparasi akibat
kerusakan fisik dalam masa perang, tetapi sama sekali tidak menyinggung mengenai korban dan para penyintas perbudakan seksual.

Terus disangkali

Proses pengadilan di Tokyo dan Belanda itu merupakan peristiwa penting yang mengakhiri impunitas kejahatan kriminal kekerasan seksual dalam perang.

Namun, penyangkalan terus terjadi. Sebagian masyarakat dan politisi Jepang bersikukuh, comfort stations adalah tempat pelacuran; bahwa perempuan di situ "bekerja secara sukarela" dan sistem itu merupakan usaha swasta, tidak dioperasikan pemerintah dan swasta.

"Umur saya waktu itu 13 tahun. Apa masuk akal anak umur 13 tahun secara sukarela melakukan kerja seperti itu," sergah Mardiyem dengan nada pahit.

Sikap masyarakat Jepang terhadap Tokyo Tribunal tahun 2000 memang terbelah. Di dalam negeri, kelompok ultranasionalis dan politisi sayap kanan di Jepang terus berupaya menafikan upaya penghapusan impunitas itu dengan menggunakan sentimen nasionalisme. Upaya mengoreksi buku sejarah Jepang juga mengalami hambatan.

Di sisi lain, kelompok kritis yang mendesak Pemerintah Jepang untuk mengakui kejahatannya semasa perang, juga menguat.

PM Jepang Sinzho Abe menolak eksploitasi seksual itu dilakukan secara sistematis oleh tentara Jepang semasa perang. Pernyataan itu menyulut kemarahan di Korea Utara dan Selatan, Filipina, China, Taiwan, dan Indonesia.

Pada hari berikutnya, dia mengatakan akan mempertahankan permintaan maaf pemerintahnya karena memaksa perempuan Asia menjadi budak seks bagi militer Jepang selama Perang Dunia II.

Kontroversi itu ditutup dengan pernyataan partai yang berkuasa di Jepang akan melakukan kajian baru tentang masalah tersebut. Semua itu cukup untuk memperlihatkan kecenderungan sikap politik pemerintahan Abe, seperti pernah diprediksi Prof Tetsuya Takahashi dari
Universitas Tokyo.

Di Indonesia, menyusul di negara-negara lain, bertepatan pada Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret, Jaringan Anti-Penjajahan Jepang melakukan aksi dengan sejumlah tuntutan. Di antaranya, menuntut PM Abe meminta maaf serta mendesak Pemerintah Jepang mengakhiri praktik eksploitasi seksual modern dengan menindak pelaku perdagangan perempuan dan melindungi hak korban.

Menurut Eka Hindrati dari Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia, Asian Women's Fund (AWF) yang didirikan Pemerintah Jepang dan kelompok bisnis pada tahun 1997 berencana memberi kompensasi 380 juta yen untuk masalah jugun ianfu di Indonesia secara bertahap selama 10 tahun.

Jumlah penyintas
Jumlah penyintas mantan jugun ianfu di Indonesia, menurut data LBH Yogyakarta tahun 1993, berjumlah 1.156 orang, tetapi data Forum Komunikasi Heiho Indonesia tahun 1996 menyebut angka 22.000. "Yang kami catat, uang yang diberikan baru dua juta yen untuk membuat lima panti jompo. Yang lainnya tidak tahu," ujar Eka, seraya mengatakan, jangka waktu 10 tahun itu selesai tahun ini.

Barangkali benar, soal kompensasi itu sama sekali tidak transparan, seperti kata Eka. Senoaji dari Yayasan Pangudi Luhur di Cimahi, mengatakan, pihaknya menerima dana Rp 360 juta dari AWF untuk keperluan para lanjut usia sekitar enam bulan lalu. Nama Suhanah kemudian diabadikan sebagai nama salah satu ruangan perawatan lansia di situ.

Namun, persoalan sebenarnya tidak berubah. Pemberian kompensasi yang oleh Pemerintah Indonesia ditujukan untuk keperluan lansia, dapat dibaca sebagai penerimaan separuh hati atas fakta para jugun ianfu adalah korban kekerasan seksual di masa perang.

Seperti dikemukakan Mardiyem (75) dari Yogyakarta, "Sejak Tokyo itu belum ada apa-apa lagi." Ketika di Tokyo dia menuntut kompensasi dua juta yen pada setiap penyintas mantan jugun ianfu di Indonesia.

Katanya, dia dan teman-temannya sudah menulis surat dalam bahasa Jawa kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta agar nasib mereka diperhatikan. Tetapi, tidak ada reaksi. Semuanya berhenti pada penantian....

0 komentar:

Copyright © Sang Alam